A. Latar Belakang
Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka
yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga piawai
dalam aspek soft skillnya. Dunia pendidikanpun mengungkapkan bahwa
berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata
kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill
dan sisanya 80% oleh soft skill.
Adalah suatu realita bahwa pendidikan di Indonesia lebih memberikan
porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa dikatakan
lebih berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Lalu seberapa
besar semestinya muatan soft skill dalam kurikulum pendidikan?, kalau
mengingat bahwa sebenarnya penentu kesuksesan seseorang itu lebih
disebabkan oleh unsur soft skillnya.
Jika berkaca pada realita di atas, pendidikan soft skill tentu menjadi
kebutuhan urgen dalam dunia pendidikan. Namun untuk mengubah kurikulum
juga bukan hal yang mudah. Pendidik seharusnya memberikan muatan-muatan
pendidikan soft skill pada proses pembelajarannya. Sayangnya, tidak
semua pendidik mampu memahami dan menerapkannya. Lalu siapa yang harus
melakukannya? Pentingnya penerapan pendidikan soft skill idealnya bukan
saja hanya untuk anak didik saja, tetapi juga bagi pendidik.
B. Isi
Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep
yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional
intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar
kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra
dan interpersonal.
Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori :
intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup :
self awareness (self confident, self assessment, trait & preference,
emotional awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust,
worthiness, time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan
interpersonal skill mencakup social awareness (political awareness,
developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy
dan social skill (leadership,influence, communication, conflict
management, cooperation, team work, synergy)
Pada proses rekrutasi karyawan, kompetensi teknis dan akademis (hard
skill) lebih mudah diseleksi. Kompetensi ini dapat langsung dilihat pada
daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi dan ketrampilan
yang dikuasai. Sedangkan untuk soft skill biasanya dievaluasi oleh
psikolog melalui psikotes dan wawancara mendalam. Interpretasi hasil
psikotes, meskipun tidak dijamin 100% benar namun sangat membantu
perusahaan dalam menempatkan ‘the right person in the right place’.
Hampir semua perusahaan dewasa ini mensyaratkan adanya kombinasi yang
sesuai antara hard skill dan soft skill, apapun posisi karyawannya. Di
kalangan para praktisi SDM, pendekatan ala hard skill saja kini sudah
ditinggalkan. Percuma jika hard skill oke, tetapi soft skillnya buruk.
Hal ini bisa dilihat pada iklan-iklan lowongan kerja berbagai perusahaan
yang juga mensyaratkan kemampuan soft skill, seperi team work,
kemampuan komunikasi, dan interpersonal relationship, dalam job
requirementnya. Saat rekrutasi karyawan, perusahaan cenderung memilih
calon yang memiliki kepribadian lebih baik meskipun hard skillnya lebih
rendah. Alasannya sederhana : memberikan pelatihan ketrampilan jauh
lebih mudah daripada pembentukan karakter. Bahkan kemudian muncul tren
dalam strategi rekrutasi „ Recruit for Attitude, Train for Skill“.
Hal tersebut menunjukkan bahwa : hard skill merupakan faktor penting
dalam bekerja, namun keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya lebih
ditentukan oleh soft skillnya yang baik.
Psikolog kawakan, David McClelland bahkan berani berkata bahwa faktor
utama keberhasilan para eksekutif muda dunia adalah kepercayaan diri,
daya adaptasi, kepemimpinan dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Yang
tak lain dan tak bukan merupakan soft skill.
C. Kesimpulan dan Saran
Para ahli manajemen percaya bahwa bila ada dua orang dengan bekal hard
skill yang sama, maka yang akan menang dan sukses di masa depan adalah
dia yang memiliki soft skill lebih baik. Mereka adalah benar-benar
sumber daya manusia unggul, yang tidak hanya semata memiliki hard skill
baik tetapi juga didukung oleh soft skill yang tangguh.
Pada posisi bawah, seorang karyawan tidak banyak menghadapai masalah
yang berkaitan dengan soft skill. Masalah soft skill biasanya menjadi
lebih kompleks ketika seseorang berada di posisi manajerial atau ketika
dia harus berinteraksi dengan banyak orang. Semakin tinggi posisi
manajerial seseorang di dalam piramida organisasi, maka soft skill
menjadi semakin penting baginya. Pada posisi ini dia akan dituntut untuk
berinteraksi dan mengelola berbagai orang dengan berbagai karakter
kepribadian. Saat itulah kecerdasan emosionalnya diuji.
Umumnya kelemahan dibidang soft skill berupa karakter yang melekat pada
diri seseorang. Butuh usaha keras untuk mengubahnya. Namun demikian soft
skill bukan sesuatu yang stagnan. Kemampuan ini bisa diasah dan
ditingkatkan seiring dengan pengalaman kerja. Ada banyak cara
meningkatkan soft skill. Salah satunya melalui learning by doing. Selain
itu soft skill juga bisa diasah dan ditingkatkan dengan cara mengikuti
pelatihan-pelatihan maupun seminar-seminar manajemen. Meskipun, satu
cara ampuh untuk meningkatkan soft skill adalah dengan berinteraksi dan
melakukan aktivitas dengan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar